Senin, 01 Oktober 2012

Makalah Pendidikan Karakter



PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIK 
DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK

Oleh. Dewi Rosiani




Abstrak
Karakter adalah sebuah tameng untuk menangkis berbagai pengaruh negatif dari era globalisasi saat ini. Berbagai macam kasus negatif yang muncul ke permukaan yang menimpa sumber daya manusia membuktikan bahwa perlu adanya perubahan di berbagai bidang, khususnya pendidikan. Pendidikan berbasis karakter adalah salah satu cara yang dilakukan untuk membangun manusia-manusia yang berkarakter sehingga hal-hal buruk/negatif bisa diminimalisasi, diantisipasi, dan dihilangkan. Perlu kerjasama dan kekompakan dari berbagai pihak yaitu pemerintah,  masyarakat, guru, atau orangtua dalam menyukseskan pendidikan berbasis karakter. Pendidik termasuk guru sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan berbasis karakter di sekolah harus senantiasa melakukan koreksi dan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitasnya sehingga mampu membangun generasi penerus bangsa yang berkarakter. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik meliputi: memunculkan hasrat untuk melakukan suatu perubahan dalam lubuk hatinya, mencintai profesinya dengan sepenuh hati, senantiasa belajar dan menuntut ilmu, meneladani sikap dan perilaku Rasul/Nabi, membentuk kebiasaan yang baik dan positif dalam hidupnya, serta melakukan integrasi dan internalisasi kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam proses pembelajaran.


I.     PENDAHULUAN

“When character is lost, everything is lost”

Arus globalisasi yang semakin deras dan tak dapat dibendung, membuat negara kita terancam. Persaingan bebas membuat kita sebagai negara timur terpojokan. Bagaimana tidak arus informasi, teknologi yang semakin canggih, bahkan sampai pada mode, pergaulan bebas nyaris tidak bisa dibendung. Memang ada dampak positif yang bisa kita peroleh, tapi tidak bisa kita pungkiri justru dampak negatiflah yang kita rasakan sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat,  baik usia anak-anak, remaja, dewasa, sampai usia tua.
Berbagai macam kasus yang beredar secara santer di masyarakat adalah contoh dari dampak negatif arus globalisasi. Kasus yang sering muncul saat ini dan melibatkan anak-anak usia sekolah seperti terjun dalam pergaulan bebas, terjerat narkoba, melakukan tindakan kriminal, dan lain sebagainya. Kasus yang marak di lingkungan pendidik seperti guru yang melakukan tindakan tak terpuji, melakukan demo, melecehkan anak didiknya, membocorkan jawaban/kunci ujian nasional, dan lain sebagainya. Kasus yang melanda kalangan pejabat negara yang selalu menghias layar kaca seperti anggota DPR yang korup, bentrok saat sidang, tertangkap melakukan hubungan mesum,  melihat video porno saat sidang berlangsung, plesir di saat negara tertimpa bencana, bahkan membangun gedung DPR baru yang sangat megah dan menghabiskan banyak kocek di tengah-tengah kemiskinan yang semakin merajalela. Sungguh sebuah ironi yang saat ini sedang terjadi di negara kita.
Kecanggihan teknologi dan kemudahan mengakses informasi negatif lewat media cetak atau media elektronik seperti internet atau televisi membuat masyarakat kian terlena. Mereka biasa dininabobokan, mereka biasa melakukan kebiasaan-kebiasaan negatif yang tak mereka sadari telah mengikis karakternya.  Hal ini membuat semangat bekerja keras, pantang menyerang, bersosialisasi, kejujuran, kebaikan, dan nilai-nilai yang baik nyaris tenggelam.
Banyaknya kasus yang terjadi membuktikan bahwa kita memerlukan tameng yang sangat kuat untuk menangkis dampak negatif dari globalisasi saat ini. Tameng itu adalah karakter. Kita perlu membangun karakter. Sikap keprihatinan dan kekecewaan kita terhadap semakin maraknya kasus yang menunjukan kemerosotan moral ini, kita wujudkan dengan kepedulian kita untuk membangun karakter sumber daya manusia Indonesia yang sekarang ini mengalami krisis karakter.
Tanpa karakter sebagai landasan bersikap dan berperilaku, besar kemungkinan rongga-rongga dada manusia akan dipenuhi hawa nafsu. Seseorang akan dengan mudah melakukan suatu tindak yang memalukan, tindak yang tak segan-segan menyakiti bahkan menyengsarakan orang lain. Yang ada di pikiran adalah bagaimana membuat diri sendiri senang, kaya, dan tak mau sengsara. Muncullah kaum hedonisme yang mendewakan uang dan kekuasaan, sehingga sepertinya apa pun bisa dibeli.  Kita bisa membeli pangkat, gelar, kedudukan, bahkan hukum pun saat ini sepertinya bisa dibeli.
The only thing in the world not for sale is character”(Antonin Scalia, hakim tinggi di Amerika). Satu-satunya yang tidak bisa dibeli adalah karakter. Karakter merujuk pada sesuatu hal yang abstrak. Banyak pengertian karakter yang disampaikan oleh para pakar. Sigmund Freud mengatakan bahwa character is a striving system which underly behaviour. Karakter adalah kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku. Hal ini senada dengan pendapat pakar pendidikan di Indonesia. Menurut H. Soemarno Soedarsono, karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku kita.  Dalam agama Islam karakter lebih dikenal dengan istilah akhlak. Jadi, dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah suatu nilai moral berupa sikap dan perilaku yang diperoleh melalui suatu proses yaitu pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan lainnya.
Dalam kehidupan, karakter memegang peranan vital. Bangsa yang maju dan jaya adalah bangsa yang berkarakter. Ada ungkapan bahwa bangsa yang maju dan jaya tidak semata-mata disebabkan kompetensi, teknologi canggih, atau kekayaan alamnya, tetapi yang utama dan terutama adalah dorongan semangat dan karakternya. Peran karakter bagi diri manusia adalah ibarat kemudi bagi sebuah kapal. Karakter adalah kemudi hidup yang akan menentukan arah yang benar bahtera kehidupan seorang manusia. Banyak bangsa yang maju karena mengedepankan karakter seperti bangsa Jepang, Korea, Inggris, atau China.
Kita harus mampu membangun kembali bangsa kita menjadi bangsa yang berkarakter, sehingga seberapa pun deras laju globalisasi, atau seberapa cepatnya perubahan zaman kita tetap mampu mengikutinya tanpa ada rasa takut dan was-was akan berbagai kasus negatif serta masa depan generasi penerus kita yang terombang-ambing.
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun suatu bangsa, khususnya sumber daya manusianya dan kita tahu bahwa karakter tidak jatuh dari langit, tapi memerlukan proses dalam kurun waktu tertentu, maka perlu menumbuhkembangkan karakter tersebut. Cara-cara menumbuhkembangkan karakter bisa melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, dan pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, sekolah, maupun keluarga.  Harus ada kekompakan di semua pihak untuk dapat membentuk dan membangun karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter harus menyertai seluruh aspek kehidupan termasuk di lembaga pendidikan, khususnya sekolah.
 Sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis, selain di rumah atau di lingkungan masyarakat untuk menanamkan dan membangun karakter para generasi penerus bangsa. Pendidikan karakter di sekolah dimaksudkan untuk membangun kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan fungsi dari Pendidikan Nasional sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional pasal 3.
Pendidikan karakter juga disebutkan memiliki sembilan pilar yang isinya hampir senada dengan fungsi pendidikan nasional di atas yaitu cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya; kemandirian, disiplin, dan tanggung-jawab; kejujuran, amanah dan berkata bijak; hormat dan santun, dermawan, suka menolong, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; toleransi; kedamaian, dan kesatuan.  Sembilan pilar ini ditanamkan melalui proses pendidikan yaitu knowing (mengetahui), reasoning (rasionalitas), feeling(merasakan), dan acting (aksi).
Menurut Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Bapak Psikologi Indonesia yang mendirikan Fakultas Psikologi Ui sekaligus komisi kurikulum pendidikan nasional (1960-1970) menyampaikan bahwa pembinaan karakter ini merupakan tugas utama pendidikan. Diperkuat dengan pernyataan Herbert Spencer, seorang filsuf Inggris (1820-1903) “Education has for its object the formation of character”. Maka, tugas wajib bagi pendidik, dalam hal ini guru selain memberikan materi sesuai dengan silabus dan kurikulum adalah membentuk, mengasah, membina karakter peserta didiknya.
 Guru adalah profesi yang mulia sepanjang zaman. Kelangsungan peradaban umat manusia bisa dikatakan tergantung dari kualitas guru. Bagaimana wajah generasi dan kehidupan di masa depan, salah satunya ditentukan oleh bagaimana guru mendidik peserta didiknya. Walaupun guru adalah profesi yang mulia, tapi sesungguhnya untuk menjadi seorang guru yang profesional dan mampu melaksanakan pendidikan berbasis karakter bukanlah hal yang gampang.  Hal pertama dan utama sebelum melaksanakan pendidikan karakter di sekolah, guru harus menjadi sosok manusia yang berkarakter. Bagaimana cara menjadi sosok manusia karakter? Kuncinya adalah guru harus meningkatkan kualitas dirinya dengan berbagai usaha. Apa saja usaha-usaha yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas dalam rangka membangun pendidikan yang berkarakter akan dibahas dalam makalah ini.

BAB II. PEMBAHASAN

PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIK 
DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Character building is a never ending process

Berbagai usaha untuk menyebarluaskan pendidikan karakter semakin gencar dilakukan. Semua pihak tak terkecuali harus turut ambil bagian untuk melaksanakan program tersebut. Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan lingkungan keluarga harus ikut berpartisipasi, menyumbangkan diri untuk menyukseskan pendidikan berbasis karakter tersebut. Kesadaran dari diri sendiri untuk terus memperbaiki, membenahi kualitas diri dalam rangka membangun karakter harus selalu ditanam dan dipupuk.
Guru sebagai pelaku dalam proses pendidikan di sekolah memegang peran vital untuk menumbuhkembangkan karakter peserta didiknya. Keberhasilan pendidikan karakter di lingkungan sekolah sangat dipengaruhi oleh karakter  dari pendidik atau guru. Sehingga sudah sepantasnya guru senantiasa menyadari untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan atau usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu mendidik dan membangun karakter peserta didiknya dengan baik.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik dalam rangka membangun pendidikan yang berkarakter antara lain :

1.      Memunculkan motivasi atau hasrat untuk melakukan suatu perubahan

If you want to change the world, first you have to change yourself

Kalau kita ingin merubah sesuatu, maka pertama kali yang kita lakukan adalah merubah diri kita sendiri. Perubahan itu sangat penting karena hakekatnya tidak ada yang tidak berubah dalam dunia ini. Hakekatnya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Seorang pendidik harus selalu tanggap dengan perubahan zaman dan mampu menjalankan perubahan tersebut dengan cara-cara yang inovatif dan sesuai dengan perubahan itu sendiri. Kita akan menjadi makhluk yang tertinggal bila kita hanya berdiri mematung. Padahal, perubahan zaman sangatlah cepat. Sebuah ayat Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, sebelum bangsa itu mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. 
Seorang pendidik yang peduli dengan keadaan bangsanya yang carut marut, peduli dengan keberlangsungan generasi penerusnya dan ingin mengubah keadaan bangsanya menjadi lebih baik lagi, maka harus ada motivasi atau hasrat untuk melakukan suatu perubahan. Perubahan pada diri sendiri ke arah yang lebih baik lagi, menjadi sosok guru yang ideal, berakhlak/berkarakter, dan profesional yang mencintai dan menjalankan profesinya dengan sebaik mungkin. Dengan begitu, pendidikan berbasis karakter akan mudah dijalankan.

2.      Mencintai profesinya sebagai pendidik

Jika kamu tidak mencintai pekerjaan yang sedang kamu lakukan, kamu akan sakit secara fisik, mental, atau spiritual. Bahkan, bisa jadi kamu akan membikin orang lain ikut sakit. 
(Lorraine Monroe)
Seorang pendidik harus menyadari bahwa profesinya adalah mulia. Seorang guru yang mencintai profesinya karena memang sudah panggilan jiwa untuk mengantarkan peserta didiknya menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter, akan bisa mengalirkan spirit positif pada peserta didiknya. Guru mengajar dengan mental sebagai pendakwah sekaligus pengasuh-bukan dengan mental tukang teriak untuk mendapat upah bulanan.
Bila seorang pendidik mencintai profesinya, otomatis dia juga akan menyayangi peserta didiknya layaknya anaknya sendiri sehingga pendidik akan mampu menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran. Sesungguhnya penciptaan emosi positif dalam lingkungan yang menyenangkan adalah prasyarat dari pendidikan berkarakter.
Bila seorang pendidik mencintai profesinya, maka ia akan menjalankan profesinya dengan penuh kecintaan. Sehingga guru otoriter, killer, pilih kasih, dan sebutan negatif lainnya akan tergantikan dengan guru yang sabar, penyayang, tidak sombong, baik, dan sebutan positif lainnya.

3.      Senantiasa belajar dan menuntut ilmu
Pendidik harus senantiasa menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan profesinya. Bisa ditempuh dengan cara: 1) membaca banyak referensi tentang pendidikan. Banyak sekali referensi berkaitan dengan dunia pendidikan yang sepertinya wajib dibaca oleh pendidik sebelum melakoni profesinya. 2) mengikuti seminar atau pelatihan berkaitan dengan profesinya. 3) mengikuti perlombaan-perlombaan sesuai dengan profesinya untuk dapat membuktikan kemampuannya.

4.      Meneladani sikap dan perilaku Rasulullah dan Nabinya 

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah 
(Al-Ahzab: 21)

Perlu disadari keteladanan adalah sebuah pendekatan yang paling ampuh. Tanpa ada keteladanan, apa yang disampaikan seorang pendidik tidak akan membekas pada diri peserta didiknya. Oleh karena itu, seorang pendidik harus mampu memberikan teladan atau contoh yang baik bagi peserta didiknya.
Telah disebutkan dalam Al Quran bahwa suri teladan yang baik adalah Rasulullah, maka seorang pendidik tidak perlu repot-repot mencari siapa sosok teladan yang mampu membimbing dan mengarahkan dirinya ke arah kebaikan. Selain Rasulullah, nabi, sahabat, ustad, dan orang-orang yang berjalan di jalan Allah Swt patutlah dijadikan teladan dalam kehidupan seorang pendidik.
Disebutkan dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a yang menuturkan pesan Rasulullah “Anakku aku akan mengajarkan beberapa hal : 1)Jagalah Allah, maka dia akan menjagamu; 2) Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu; 3)Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. 4)ketahuilah, andai seluruh umat manusia bersepakat untuk membantumu, mereka tidak akan dapat membantumu, kecuali bila apa yang mereka bantu itu telah ditetapkan Allah. Sebaliknya, andai mereka bersepakat untuk tidak membantumu, maka mereka tetap tidak akan dapat mencelakaimu kecuali atas kehendak Allah. Kala itulah pena pencatat amal tidak dipergunakan lagi dan buku catatan amal juga telah mengering dari tinta pena (HR At Tirmidzi).
Dari hadis tersebut, seorang pendidik dapat memetik hikmah dan meneladani sikap dan perilaku Rasulullah atas apa yang dilakukan kepada anak didiknya, yaitu:
1.  Seorang guru harus cinta dan sayang pada anak-anak  didiknya. Seperti apa yang dilakukan Rasulullah pada Ibnu Abbas, beliau memanggilnya dengan sebutan “anakku”
2.  Rasulullah Saw memerintahkan anak didiknya untuk tetap taat kepada Allah dengan menjauhi larangannya.
3.     Allah akan menolong orang mukmin walau dalam kondisi sulit bila ia menunaikan kewajiban kepada Allah.
4.   Rasulullah menyeru untuk selalu menanamkan akidah dalam diri anak didiknya dengan tetap memohon kepadaNya.
5.      Mengajarkan optimisme kepada anak didik beliau dalam menghadapi hidup dengan keberanian dan cita-cita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi umat.
Selain itu, seorang pendidik juga dapat meneladani sikap dan perilaku nabinya, seperti Luqman Al Hakim. Sikap dan perilaku tersebut meliputi: Menjauhi kemusyrikan (Qs Luqman : 13); Menghormati orang yang lebih tua (Qs Luqman : 14); Mendirikan shalat ( Qs Luqman: 17); Beramar makruf nahi mungkar (Qs Luqman: 17); Tidak sombong dan tidak angkuh (Qs. Luqman: 18); Berjalan dan bersuara secara wajar (Qs. Luqman : 19).
Hal ini menyimpulkan bahwa seorang pendidik bila ingin membangun karakter peserta didik, maka dia harus membangun terlebih dahulu keteladanan dalam dirinya. Pendidikan berkarakter bisa dilaksanakan bila dalam diri pendidik terdapat suri teladan yang baik. Alurnya dapat dilihat di bawah ini:

             

6.      Membentuk kebiasaan yang baik dan positif dalam hidupnya
Karakter tidak bisa diperoleh dengan spontan dan instan, tapi membutuhkan proses. Karakter adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan yang kita tumbuhkembangkan setiap waktu. Untuk membangun karakter peserta didik, maka pendidik perlu melakukan kebiasaan-kebiasaan (habits forming) yang baik dan positif dalam hidupnya, baik di rumah, di masyakarat, ataupun di sekolah dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan sesuai dengan agama dan tata nilai/norma yang berlaku.
Dorothy Law Nolte dalam Dryden dan Vos (2000: 104) menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupannya. Anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarkannya dan akhirnya akan menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik, maka diharapkan ia akan menjadi anak yang selalu berbuat baik, dan sebaliknya.
Pendidik harus mampu mengajari peserta didik lewat kebiasaan-kebiasaan yang baik. Kemerosotan moral yang kemudian memunculkan pendidikan berbasis karakter dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan yang kurang mengedepankan karakter, tetapi lebih mengembangkan intelektual. Pendidikan karakter ini menjadi suatu proses yang harus dijalankan untuk meniadakan kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu menjalankan proses internalisasi nilai-nilai yang diperoleh lewat pembiasaan diri untuk bisa masuk ke dalam hati. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, sabar, amanah, tidak sombong, dan lainnya dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan ke dalam pembelajaran di lingkungan sekolah.


II.      KESIMPULAN
1.      Karakter adalah sebuah tameng untuk menangkis berbagai pengaruh negatif dari era globalisasi saat ini. Berbagai macam kasus negatif yang muncul ke permukaan yang menimpa sumber daya manusia membuktikan bahwa perlu adanya perubahan.
2.      Pendidikan berbasis karakter bertujuan untuk membangun manusia-manusia Indonesia yang berkarakter sehingga hal-hal buruk/negatif bisa diminimalisasi, diantisipasi, dan dihilangkan.
3.      Perlu kerjasama dan kekompakan dari berbagai pihak yaitu pemerintah,  masyarakat, guru, atau orangtua dalam menyukseskan pendidikan berbasis karakter.
4.      Guru sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan berbasis karakter di sekolah harus senantiasa melakukan koreksi dan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik sehingga mampu membangun generasi penerus bangsa yang berkarakter.
5.      Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik meliputi: memunculkan hasrat untuk melakukan suatu perubahan dalam lubuk hatinya, mencintai profesinya dengan sepenuh hati, senantiasa belajar dan menuntut ilmu yang berkaitan dengan profesinya, meneladani sikap dan perilaku Rasul/Nabi, membentuk kebiasaan yang baik dan positif dalam hidupnya dan melakukan integrasi dan internalisasi kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam proses pembelajaran.





DAFTAR PUSTAKA
Didi Muardi. 2011. IHF, Meretas Jalan Pendidikan Karakter. Dalam Majalah Ummi, edisi April. Jakarta.
Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka
Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Peran Penting Karakter dan Hasrat untuk Berubah. Jakarta: Kompas Gramedia
Munir, Abdullah. 2007. Spiritual Teaching. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
Zeeno, Muhammad Jamel. 2005. Resep Menjadi Pendidik Sukses. Jakarta: PT Mizan Publika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar