PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIK
DALAM
MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK
Oleh. Dewi Rosiani
Abstrak
Karakter
adalah sebuah tameng untuk menangkis berbagai pengaruh negatif dari era
globalisasi saat ini. Berbagai macam kasus negatif yang muncul ke permukaan
yang menimpa sumber daya manusia membuktikan bahwa perlu adanya perubahan di
berbagai bidang, khususnya pendidikan. Pendidikan berbasis karakter adalah
salah satu cara yang dilakukan untuk membangun manusia-manusia yang berkarakter
sehingga hal-hal buruk/negatif bisa diminimalisasi, diantisipasi, dan
dihilangkan. Perlu kerjasama dan kekompakan dari berbagai pihak yaitu
pemerintah, masyarakat, guru, atau
orangtua dalam menyukseskan pendidikan berbasis karakter. Pendidik termasuk guru
sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan berbasis
karakter di sekolah harus senantiasa melakukan koreksi dan melakukan
usaha-usaha untuk meningkatkan kualitasnya sehingga mampu membangun generasi
penerus bangsa yang berkarakter. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik
meliputi: memunculkan hasrat untuk melakukan suatu perubahan dalam lubuk
hatinya, mencintai profesinya dengan sepenuh hati, senantiasa belajar dan
menuntut ilmu, meneladani sikap dan perilaku Rasul/Nabi, membentuk kebiasaan
yang baik dan positif dalam hidupnya, serta melakukan integrasi dan
internalisasi kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam proses pembelajaran.
I.
PENDAHULUAN
“When character is lost, everything is lost”
Arus
globalisasi yang semakin deras dan tak dapat dibendung, membuat negara kita terancam.
Persaingan bebas membuat kita sebagai negara timur terpojokan. Bagaimana tidak
arus informasi, teknologi yang semakin canggih, bahkan sampai pada mode, pergaulan
bebas nyaris tidak bisa dibendung. Memang ada dampak positif yang bisa kita
peroleh, tapi tidak bisa kita pungkiri justru dampak negatiflah yang kita
rasakan sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, baik usia anak-anak, remaja, dewasa, sampai
usia tua.
Berbagai
macam kasus yang beredar secara santer di masyarakat adalah contoh dari dampak
negatif arus globalisasi. Kasus yang sering muncul saat ini dan melibatkan anak-anak
usia sekolah seperti terjun dalam pergaulan bebas, terjerat narkoba, melakukan
tindakan kriminal, dan lain sebagainya. Kasus yang marak di lingkungan pendidik
seperti guru yang melakukan tindakan tak terpuji, melakukan demo, melecehkan
anak didiknya, membocorkan jawaban/kunci ujian nasional, dan lain sebagainya.
Kasus yang melanda kalangan pejabat negara yang selalu menghias layar kaca seperti
anggota DPR yang korup, bentrok saat sidang, tertangkap melakukan hubungan
mesum, melihat video porno saat sidang
berlangsung, plesir di saat negara tertimpa bencana, bahkan membangun gedung
DPR baru yang sangat megah dan menghabiskan banyak kocek di tengah-tengah
kemiskinan yang semakin merajalela. Sungguh sebuah ironi yang saat ini sedang
terjadi di negara kita.
Kecanggihan
teknologi dan kemudahan mengakses informasi negatif lewat media cetak atau
media elektronik seperti internet atau televisi membuat masyarakat kian terlena.
Mereka biasa dininabobokan, mereka biasa melakukan kebiasaan-kebiasaan negatif
yang tak mereka sadari telah mengikis karakternya. Hal ini membuat semangat bekerja keras,
pantang menyerang, bersosialisasi, kejujuran, kebaikan, dan nilai-nilai yang
baik nyaris tenggelam.
Banyaknya
kasus yang terjadi membuktikan bahwa kita memerlukan tameng yang sangat kuat untuk
menangkis dampak negatif dari globalisasi saat ini. Tameng itu adalah karakter.
Kita perlu membangun karakter. Sikap keprihatinan dan kekecewaan kita terhadap
semakin maraknya kasus yang menunjukan kemerosotan moral ini, kita wujudkan
dengan kepedulian kita untuk membangun karakter sumber daya manusia Indonesia
yang sekarang ini mengalami krisis karakter.
Tanpa
karakter sebagai landasan bersikap dan berperilaku, besar kemungkinan
rongga-rongga dada manusia akan dipenuhi hawa nafsu. Seseorang akan dengan
mudah melakukan suatu tindak yang memalukan, tindak yang tak segan-segan
menyakiti bahkan menyengsarakan orang lain. Yang ada di pikiran adalah bagaimana
membuat diri sendiri senang, kaya, dan tak mau sengsara. Muncullah kaum
hedonisme yang mendewakan uang dan kekuasaan, sehingga sepertinya apa pun bisa
dibeli. Kita bisa membeli pangkat,
gelar, kedudukan, bahkan hukum pun saat ini sepertinya bisa dibeli.
“The
only thing in the world not for sale is character”(Antonin Scalia, hakim
tinggi di Amerika). Satu-satunya yang tidak bisa dibeli adalah karakter. Karakter
merujuk pada sesuatu hal yang abstrak. Banyak pengertian karakter yang
disampaikan oleh para pakar. Sigmund Freud mengatakan bahwa character is a striving system which underly
behaviour. Karakter adalah kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu
sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku. Hal ini senada
dengan pendapat pakar pendidikan di Indonesia. Menurut H. Soemarno Soedarsono,
karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui
pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan,
dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai
intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi pemikiran, sikap, dan
perilaku kita. Dalam agama Islam
karakter lebih dikenal dengan istilah akhlak. Jadi, dari beberapa pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah suatu nilai moral berupa
sikap dan perilaku yang diperoleh melalui suatu proses yaitu pendidikan,
pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan lainnya.
Dalam
kehidupan, karakter memegang peranan vital. Bangsa yang maju dan jaya adalah
bangsa yang berkarakter. Ada ungkapan bahwa bangsa yang maju dan jaya tidak
semata-mata disebabkan kompetensi, teknologi canggih, atau kekayaan alamnya,
tetapi yang utama dan terutama adalah dorongan semangat dan karakternya. Peran
karakter bagi diri manusia adalah ibarat kemudi bagi sebuah kapal. Karakter
adalah kemudi hidup yang akan menentukan arah yang benar bahtera kehidupan
seorang manusia. Banyak bangsa yang maju karena mengedepankan karakter seperti
bangsa Jepang, Korea, Inggris, atau China.
Kita harus
mampu membangun kembali bangsa kita menjadi bangsa yang berkarakter, sehingga
seberapa pun deras laju globalisasi, atau seberapa cepatnya perubahan zaman
kita tetap mampu mengikutinya tanpa ada rasa takut dan was-was akan berbagai
kasus negatif serta masa depan generasi penerus kita yang terombang-ambing.
Mengingat
pentingnya karakter dalam membangun suatu bangsa, khususnya sumber daya
manusianya dan kita tahu bahwa karakter tidak jatuh dari langit, tapi
memerlukan proses dalam kurun waktu tertentu, maka perlu menumbuhkembangkan
karakter tersebut. Cara-cara menumbuhkembangkan karakter bisa melalui
pendidikan, pengalaman, percobaan, dan pengaruh lingkungan. Oleh karena itu,
diperlukan kepedulian berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat,
sekolah, maupun keluarga. Harus ada
kekompakan di semua pihak untuk dapat membentuk dan membangun karakter. Dengan
demikian, pendidikan karakter harus menyertai seluruh aspek kehidupan termasuk
di lembaga pendidikan, khususnya sekolah.
Pendidikan
karakter juga disebutkan memiliki sembilan pilar yang isinya hampir senada
dengan fungsi pendidikan nasional di atas yaitu cinta Tuhan dan segenap
ciptaanNya; kemandirian, disiplin, dan tanggung-jawab; kejujuran, amanah dan
berkata bijak; hormat dan santun, dermawan, suka menolong, dan kerjasama;
percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; kepemimpinan dan keadilan; baik
dan rendah hati; toleransi; kedamaian, dan kesatuan. Sembilan pilar ini ditanamkan melalui proses
pendidikan yaitu knowing
(mengetahui), reasoning (rasionalitas),
feeling(merasakan), dan acting (aksi).
Menurut
Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Bapak Psikologi Indonesia yang mendirikan
Fakultas Psikologi Ui sekaligus komisi kurikulum pendidikan nasional
(1960-1970) menyampaikan bahwa pembinaan karakter ini merupakan tugas utama
pendidikan. Diperkuat dengan pernyataan Herbert Spencer, seorang filsuf Inggris
(1820-1903) “Education has for its object
the formation of character”. Maka, tugas wajib bagi pendidik, dalam hal ini
guru selain memberikan materi sesuai dengan silabus dan kurikulum adalah
membentuk, mengasah, membina karakter peserta didiknya.
BAB II. PEMBAHASAN
PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIK
DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN BERBASIS
KARAKTER
Character building is a never ending process
Berbagai
usaha untuk menyebarluaskan pendidikan karakter semakin gencar dilakukan. Semua
pihak tak terkecuali harus turut ambil bagian untuk melaksanakan program
tersebut. Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan lingkungan keluarga harus ikut
berpartisipasi, menyumbangkan diri untuk menyukseskan pendidikan berbasis
karakter tersebut. Kesadaran dari diri sendiri untuk terus memperbaiki,
membenahi kualitas diri dalam rangka membangun karakter harus selalu ditanam
dan dipupuk.
Guru sebagai
pelaku dalam proses pendidikan di sekolah memegang peran vital untuk
menumbuhkembangkan karakter peserta didiknya. Keberhasilan pendidikan karakter
di lingkungan sekolah sangat dipengaruhi oleh karakter dari pendidik atau guru. Sehingga sudah sepantasnya
guru senantiasa menyadari untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan atau
usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu mendidik dan
membangun karakter peserta didiknya dengan baik.
Usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas pendidik dalam rangka membangun pendidikan yang
berkarakter antara lain :
1.
Memunculkan motivasi atau hasrat untuk melakukan suatu perubahan
If you want to change the world, first you
have to change yourself
Kalau kita
ingin merubah sesuatu, maka pertama kali yang kita lakukan adalah merubah diri
kita sendiri. Perubahan itu sangat penting karena hakekatnya tidak ada yang
tidak berubah dalam dunia ini. Hakekatnya yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Seorang pendidik harus selalu tanggap dengan perubahan zaman dan mampu
menjalankan perubahan tersebut dengan cara-cara yang inovatif dan sesuai dengan
perubahan itu sendiri. Kita akan menjadi makhluk yang tertinggal bila kita
hanya berdiri mematung. Padahal, perubahan zaman sangatlah cepat. Sebuah ayat
Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa,
sebelum bangsa itu mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.
Seorang
pendidik yang peduli dengan keadaan bangsanya yang carut marut, peduli dengan
keberlangsungan generasi penerusnya dan ingin mengubah keadaan bangsanya
menjadi lebih baik lagi, maka harus ada motivasi atau hasrat untuk melakukan
suatu perubahan. Perubahan pada diri sendiri ke arah yang lebih baik lagi,
menjadi sosok guru yang ideal, berakhlak/berkarakter, dan profesional yang
mencintai dan menjalankan profesinya dengan sebaik mungkin. Dengan begitu,
pendidikan berbasis karakter akan mudah dijalankan.
2.
Mencintai profesinya sebagai pendidik
Jika kamu tidak mencintai pekerjaan yang
sedang kamu lakukan, kamu akan sakit secara fisik, mental, atau spiritual.
Bahkan, bisa jadi kamu akan membikin orang lain ikut sakit.
(Lorraine
Monroe)
Seorang
pendidik harus menyadari bahwa profesinya adalah mulia. Seorang guru yang
mencintai profesinya karena memang sudah panggilan jiwa untuk mengantarkan
peserta didiknya menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter, akan bisa
mengalirkan spirit positif pada peserta didiknya. Guru mengajar dengan mental
sebagai pendakwah sekaligus pengasuh-bukan dengan mental tukang teriak untuk
mendapat upah bulanan.
Bila seorang
pendidik mencintai profesinya, otomatis dia juga akan menyayangi peserta
didiknya layaknya anaknya sendiri sehingga pendidik akan mampu menciptakan
suasana yang kondusif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran. Sesungguhnya
penciptaan emosi positif dalam lingkungan yang menyenangkan adalah prasyarat
dari pendidikan berkarakter.
Bila seorang
pendidik mencintai profesinya, maka ia akan menjalankan profesinya dengan penuh
kecintaan. Sehingga guru otoriter, killer, pilih kasih, dan sebutan negatif
lainnya akan tergantikan dengan guru yang sabar, penyayang, tidak sombong,
baik, dan sebutan positif lainnya.
3.
Senantiasa belajar dan menuntut ilmu
Pendidik
harus senantiasa menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan berkaitan dengan pengembangan
dan peningkatan profesinya. Bisa ditempuh dengan cara: 1) membaca banyak
referensi tentang pendidikan. Banyak sekali referensi berkaitan dengan dunia
pendidikan yang sepertinya wajib dibaca oleh pendidik sebelum melakoni
profesinya. 2) mengikuti seminar atau pelatihan berkaitan dengan profesinya. 3)
mengikuti perlombaan-perlombaan sesuai dengan profesinya untuk dapat
membuktikan kemampuannya.
4.
Meneladani sikap dan perilaku Rasulullah dan Nabinya
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat
Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah
(Al-Ahzab: 21)
Perlu
disadari keteladanan adalah sebuah pendekatan yang paling ampuh. Tanpa ada
keteladanan, apa yang disampaikan seorang pendidik tidak akan membekas pada
diri peserta didiknya. Oleh karena itu, seorang pendidik harus mampu memberikan
teladan atau contoh yang baik bagi peserta didiknya.
Telah
disebutkan dalam Al Quran bahwa suri teladan yang baik adalah Rasulullah, maka
seorang pendidik tidak perlu repot-repot mencari siapa sosok teladan yang mampu
membimbing dan mengarahkan dirinya ke arah kebaikan. Selain Rasulullah, nabi,
sahabat, ustad, dan orang-orang yang berjalan di jalan Allah Swt patutlah
dijadikan teladan dalam kehidupan seorang pendidik.
Disebutkan
dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a yang menuturkan
pesan Rasulullah “Anakku aku akan
mengajarkan beberapa hal : 1)Jagalah Allah, maka dia akan menjagamu; 2) Jagalah
Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu; 3)Jika kamu meminta, maka
mintalah kepada Allah. 4)ketahuilah, andai seluruh umat manusia bersepakat
untuk membantumu, mereka tidak akan dapat membantumu, kecuali bila apa yang
mereka bantu itu telah ditetapkan Allah. Sebaliknya, andai mereka bersepakat
untuk tidak membantumu, maka mereka tetap tidak akan dapat mencelakaimu kecuali
atas kehendak Allah. Kala itulah pena pencatat amal tidak dipergunakan lagi dan
buku catatan amal juga telah mengering dari tinta pena (HR At Tirmidzi).
Dari hadis
tersebut, seorang pendidik dapat memetik hikmah dan meneladani sikap dan
perilaku Rasulullah atas apa yang dilakukan kepada anak didiknya, yaitu:
1. Seorang guru harus cinta dan sayang pada anak-anak didiknya. Seperti apa yang dilakukan
Rasulullah pada Ibnu Abbas, beliau memanggilnya dengan sebutan “anakku”
2. Rasulullah Saw memerintahkan anak didiknya untuk tetap taat
kepada Allah dengan menjauhi larangannya.
3. Allah akan menolong orang mukmin walau dalam kondisi sulit bila
ia menunaikan kewajiban kepada Allah.
4. Rasulullah menyeru untuk selalu menanamkan akidah dalam diri
anak didiknya dengan tetap memohon kepadaNya.
5. Mengajarkan optimisme kepada anak didik beliau dalam menghadapi
hidup dengan keberanian dan cita-cita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi
umat.
Selain itu,
seorang pendidik juga dapat meneladani sikap dan perilaku nabinya, seperti
Luqman Al Hakim. Sikap dan perilaku tersebut meliputi: Menjauhi kemusyrikan (Qs
Luqman : 13); Menghormati orang yang lebih tua (Qs Luqman : 14); Mendirikan
shalat ( Qs Luqman: 17); Beramar makruf nahi mungkar (Qs Luqman: 17); Tidak
sombong dan tidak angkuh (Qs. Luqman: 18); Berjalan dan bersuara secara wajar
(Qs. Luqman : 19).
Hal ini
menyimpulkan bahwa seorang pendidik bila ingin membangun karakter peserta
didik, maka dia harus membangun terlebih dahulu keteladanan dalam dirinya. Pendidikan
berkarakter bisa dilaksanakan bila dalam diri pendidik terdapat suri teladan
yang baik. Alurnya dapat dilihat di bawah ini:
6.
Membentuk kebiasaan yang baik dan positif dalam hidupnya
Karakter
tidak bisa diperoleh dengan spontan dan instan, tapi membutuhkan proses.
Karakter adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan yang kita tumbuhkembangkan
setiap waktu. Untuk membangun karakter peserta didik, maka pendidik perlu melakukan
kebiasaan-kebiasaan (habits forming) yang baik dan positif dalam hidupnya, baik
di rumah, di masyakarat, ataupun di sekolah dengan cara mengamalkan
perbuatan-perbuatan sesuai dengan agama dan tata nilai/norma yang berlaku.
Dorothy Law
Nolte dalam Dryden dan Vos (2000: 104) menyatakan bahwa anak belajar dari
kehidupannya. Anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarkannya dan
akhirnya akan menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Jika seorang anak tumbuh dalam
lingkungan yang mengajarinya berbuat baik, maka diharapkan ia akan menjadi anak
yang selalu berbuat baik, dan sebaliknya.
Pendidik
harus mampu mengajari peserta didik lewat kebiasaan-kebiasaan yang baik. Kemerosotan
moral yang kemudian memunculkan pendidikan berbasis karakter dilatarbelakangi oleh
sistem pendidikan yang kurang mengedepankan karakter, tetapi lebih
mengembangkan intelektual. Pendidikan karakter ini menjadi suatu proses yang
harus dijalankan untuk meniadakan kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif.
Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu menjalankan proses internalisasi
nilai-nilai yang diperoleh lewat pembiasaan diri untuk bisa masuk ke dalam
hati. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur,
sabar, amanah, tidak sombong, dan lainnya dapat diintegrasikan dan
diinternalisasikan ke dalam pembelajaran di lingkungan sekolah.
II.
KESIMPULAN
1. Karakter
adalah sebuah tameng untuk menangkis berbagai pengaruh negatif dari era
globalisasi saat ini. Berbagai macam kasus negatif yang muncul ke permukaan
yang menimpa sumber daya manusia membuktikan bahwa perlu adanya perubahan.
2. Pendidikan
berbasis karakter bertujuan untuk membangun manusia-manusia Indonesia yang
berkarakter sehingga hal-hal buruk/negatif bisa diminimalisasi, diantisipasi,
dan dihilangkan.
3. Perlu
kerjasama dan kekompakan dari berbagai pihak yaitu pemerintah, masyarakat, guru, atau orangtua dalam
menyukseskan pendidikan berbasis karakter.
4. Guru
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan berbasis karakter di
sekolah harus senantiasa melakukan koreksi dan melakukan usaha-usaha untuk
meningkatkan kualitas pendidik sehingga mampu membangun generasi penerus bangsa
yang berkarakter.
5. Usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas pendidik meliputi: memunculkan hasrat untuk
melakukan suatu perubahan dalam lubuk hatinya, mencintai profesinya dengan
sepenuh hati, senantiasa belajar dan menuntut ilmu yang berkaitan dengan
profesinya, meneladani sikap dan perilaku Rasul/Nabi, membentuk kebiasaan yang
baik dan positif dalam hidupnya dan melakukan integrasi dan internalisasi
kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Didi Muardi. 2011. IHF, Meretas Jalan Pendidikan Karakter.
Dalam Majalah Ummi, edisi April. Jakarta.
Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban
Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka
Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Peran
Penting Karakter dan Hasrat untuk Berubah. Jakarta: Kompas Gramedia
Munir, Abdullah. 2007. Spiritual Teaching. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani
Zeeno, Muhammad Jamel. 2005. Resep Menjadi Pendidik Sukses. Jakarta:
PT Mizan Publika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar