KEKUATAN SEBUAH TULISAN
Oleh. Dewi Rosiani
Di era
globalisasi ini, dimana kita dimanjakan dengan fasilitas yang serba ada (media
elektronik, media cetak, laptop, neetbook, internet, dll.), arus
informasi yang tak terbendung, produk-produk baru yang semakin melenakan,
ternyata tidak membuat masyarakat kita sadar betul untuk senantiasa
menghidupkan tradisi tulis menulis. Hal ini terlihat dari masih tersendatnya
arus perbukuan di pasaran.
Dari beberapa
buku-buku yang terbit saat ini masih banyak didominasi oleh buku-buku
terjemahan dan buku-buku dari penulis lawas yang sudah sering berkecimpung di
arena ini seperti Asma Nadia dengan buku terbarunya “La Tahzan for Broken
Hearted” setelah “Catatan Hati Bunda”, “Catatan Hati Seorang Istri” dan
“Karenamu Aku Cemburu”.
Seorang penulis yang
melakoni betul tradisi tulis menulis dalam hidupnya, tak jarang yang kemudian
menjadi ketagihan, sehingga menulis merupakan suatu kebutuhan, panggilan jiwa
yang bila mereka tinggalkan seperti ada yang hilang.
Ide-ide/pemikiran-pemikiran bagai arwah gentayangan yang selalu
menghantui mereka bila belum diabadikan lewat sebuah tulisan.
Penulis yang sudah
menjadikan tradisi tulis-menulis dalam hidupnya, entah karena tuntutan profesi
atau tuntutan jiwa baru kita temui segelintir saja di negara ini. Para generasi
muda pun (para pendidik dan pelajar) masih belum menunjukkan geliatnya untuk
menulis. Kalaupun ada hanya itu-itu saja. Padahal, tradisi tulis menulis bak
pohon kelapa, bila kita lakoni maka tiada kerugian di dalamnya. sangatlah besar
faedahnya. Para penciptanya mungkin bisa mendapat fee atau royalti dari
tulisannya. Atau, mungkin selain mendapatkan fee atau royalti, mereka
juga bisa mendapatkan pemahaman yang lebih tentang sebuah ilmu yang mereka
dalami. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Banyak motivasi
dibalik sebuah tulisan. Ada yang sengaja menulis, untuk berbagi atau
menyebarkan suatu ilmu. Menyebarkan ilmu untuk kemaslahatan umatnya atau
berdakwah. Tidak kita pungkiri ada juga yang bertujuan untuk menyesatkan
umatnya (kemudharatan). Oleh karena itu, penikmat sebuah
tulisan hendaknya memilah-milah sebuah tulisan yang akan disantapnya.
Lewat sebuah tulisan,
tak jarang banyak penikmat sebuah tulisan terhipnotis dengan isinya dan
melakukan apa yang tertulis di dalamnya (persuasif). Sebuah tulisan
memang sebuah media yang empuk untuk mempengaruhi pola pikir penikmatnya,
sehingga Teuku Zulkhairi, (2010:2) meyakini kekuatan pena lebih dashyat
daripada sebuah senapan. Bahkan menurut saya, lewat sebuah tulisan maka
seseorang bisa mengubah dunia.
Saya contohkan saja
sebuah buku islami yang mampu menggemparkan dan menggetarkan baik umat Islam
maupun umat kristiani, sebuah buku karya Ahmed Deedat, seorang penulis
kelahiran India, seorang ahli Islam dan Kristologi yang lewat karyanya The
Choice berhasil meraih anugerah King Faishal Award. Sebuah karya yang
monumental ini sudah melanglang buana ke segala penjuru negeri Eropa, Africa, Amerika,
dan Asia. Tujuan penulis adalah ingin berdakwah, memberikan wacana tentang
agama Islam. Bahwa disebutkan agama Islam adalah agama yang paling sempurna
setelah ia malang melintang menggeluti dunia teologis. Buku ini tidak hanya
untuk kalangan umat islam saja sebagai sumber referensi peneguh keimanan,
membuat para pengikutNya semakin istiqomah, tetapi buku ini juga
bisa dijadikan wacana untuk umat kristiani di dalam membuktikan kebenaran agama
yang dianutnya. Buku senada “Bila Nabi Disangka Tuhan” karya Syaikh Abdullah
bin Abdurrahman yang mengungkap rahasia Yesus sebenarnya. Buku-buku ini sangat
bagus untuk dijadikan referensi dalam melakukan dialog atau debat dengan umat
kristiani. Tidak jarang, banyak yang kemudian menjadi mualaf setelah
mendalami buku ini. Lewat buku-buku ini pola pikir umat bisa dipengaruhi. Hal
ini membuktikan bahwa sebuah tulisan mempunyai sebuah kekuatan yang dashyat.
Disamping buku
nonfiksi islami, buku fiksi pun bisa dijadikan media untuk berdakwah, sebut
saja Tetralogi Laskar pelangi karya Andrea Hirata yang berhasil merebut hati
penikmat sastra. Novel ini berhasil booming dan menjadi novel terlahir
pada waktu itu. Dalam novelnya, penulis bercerita tentang sebuah realita
pendidikan yang mampu membangkitkan spirit bagi para pendidik, khususnya
guru untuk menjadi sosok guru ideal yang diceritakan. Betapa juga para tokoh
laskar pelangi dengan semangat pantang menyerah dalam menimba ilmu berhasil
memikat hati ribuan bahkan ratusan penikmatnya. Novel ini memang sarat dengan
pesan moral yang mengajarkan tentang perjuangan dan nilai-nilai islam. Novel
senada “Ayat-ayat Cinta”, “Ketika Cinta Bertasbih", “Perempuan Berkalung
Sorban” adalah novel bernada Islami yang berhasil menghipnotis penikmatnya.
Karena banyaknya peminat novel-novel tersebut, maka novel ini difilmkan yang
ternyata tidak mengecewakan, bahkan penonton harus rela antre untuk melihat
filmnya.
Selain sebuah tulisan
disebarkan untuk kemaslahatan umatnya, ada juga tulisan disebarkan untuk
kemudharatan umat. Sebut saja “ Ayat-ayat Setan” karya Salman Rushdi,
penulis Inggris yang dalam bukunya ia menghina Nabi Muhammad Saw dan sempat
memancing kemarahan umat muslim di dunia. Ini merupakan salah satu tulisan yang
disebarluaskan untuk menjelek-jelekkan agama Islam.
Beberapa buku yang
sengaja disebarkan untuk kepentingan politik berdasarkan isu-isu teraktual yang
beredar di masyarakat luas seperti adanya makelar kasus juga membuat Abdullah H
menulis sebuah judul “Rapor Merah Polisi” di mana buku ini mengungkap kegagalan
polisi sebagai institusi penegak kebenaran dan pengayom masyarakat. Buku senada
“Testimoni Susno”, “Gurita Cikeas”, dan lainnya walaupun sempat mendatangkan
kontroversi, tapi berhasil membuktikan bahwa sebuah tulisan merupakan sarana
yang empuk untuk mempengaruhi pembacanya agar yakin dan percaya terhadap
tulisannya.
Bukti lain kekuatan
sebuah tulisan adalah dijadikannya tolak ukur dari sebuah zaman yang disebut
zaman sejarah yaitu zaman mulai dikenalnya sebuah tulisan. Dan lewat sebuah
tulisan (al-kitab) pula, banyak peradaban yang akhirnya bisa terkuak, misalnya
peradaban Yunani yang dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 SM
yang kemudian berakhir dengan hadirnya kitab perjanjian baru. Peradaban eropa
juga dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Sementara kehadiran Al-Quran melahirkan adanya peradaban Islam.
Al-Quran sebagai kalam
Ilahi adalah sebuah tulisan maha dashyat dan maha sempurna serta paling
paripurna yang dimiliki oleh umat Islam. Al-Quran adalah kitab yang dibawa Nabi
Muhammad Saw untuk semua umat Islam di jagat raya ini. Sebuah tulisan yang
langsung bersumber dari kalam Allah Swt untuk pedoman dan petunjuk para
pengikutNya dalam melangkah agar tidak tersesat dalam melangkah. Tulisan yang
ada di dalam Al-Quran tak ada seorang pun yang dapat menandinginya dan tiada
seorang pun umat Islam yang meragukan kebenaranNya. Inilah bukti kekuatan
sebuah tulisan yang maha dashyat.
Tradisi tulis menulis dalam Islam
Kekuatan sebuah
tulisan memang sangat berpengaruh dalam segala hal, khususnya pada pola pikir
penikmatnya. Sebuah tulisan yang maha dashyat, sebut saja Al-Quran dan
buku-buku fiksi nonfiksi baik Islam-nonIslami mampu mengubah suatu dunia. Oleh
karena itu, hendaklah kita menyadari betul pentingnya kegiatan tulis-menulis
dalam hidup kita.
Mengingat pentingnya
kegiatan ini, dalam Islam pun sebenarnya sudah digaungkan bahwa kegiatan tulis
menulis adalah sebuah kewajiban setelah membaca. Karena sebetulnya untuk bisa
menulis, tentunya kita sudah bergelut dengan kegiatan membaca. Karena membaca
adalah kunci untuk kita bisa menulis.
Sesuai dengan surat
yang pertama turun ke muka bumi ini (Al-Alaq: 1-5) ayat pertama iqra’bismirobbbikalladzi
kholaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan). Kata iqra’
yang terambil dari kata dasar qara’a pada mulanya berarti
“menghimpun”. Dalam kamus bahasa, ditemukan aneka ragam arti yang antara
lain bermakna: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, dan
sebagainya yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakekat “menghimpun” yang
merupakan akar kata tersebut. Jadi, membaca disini dalam artian yang luas.
Bersama dengan seruan
membaca, muncul juga perintah menulis di dalam Islam (Al- Qalam: 1) Nun,walqolami
wamaa yasturuun (nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan). Jadi,
perintah iqra’ menganjurkan manusia untuk menelaah, memahami, meneliti
dan serangkaian kegiatan lainnya, disusul dengan perintah qalam yaitu
menuliskan hasil atau ilmu yang diperoleh dari kegiatan membaca tersebut ke
dalam suatu bentuk tulisan, sehingga tidak hilang dan bisa diabadikan untuk
kemudian dipelajari dan disebarluaskan kepada umat manusia secara turun
temurun.
Tradisi tulis-menulis
dalam Islam ini bisa kita tilik bersama bahwa dalam perjalanannya menjadi
sebuah Al-Quran yang pada akhirnya dibukukan atau bisa kita sebut Al-Mushaf,
setiap ada ayat/surat Al-Quran yang turun pada waktu itu, Nabi
Muhammad Saw senantiasa memanggil sahabat-sahabatnya yang dikenal pandai
menulis untuk menuliskannnya kembali ayat/surat yang baru diterimanya. Karena
pada waktu itu masih banyak keterbatasan, yaitu belum adanya kertas seperti
sekarang ini, mereka menuliskannya kembali di atas batu, pelepah kurma, kulit
binatang, tulang, maupun benda-benda lainnya yang dapat digunakan sebagai alas
untuk menulisnya. Sedangkan alat tulisnya masih sederhana, ada kalanya memakai
kayu atau batu yang sudah diruncingkan.
Kemudian mulailah pada
zaman khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Al-Quran dibukukan, tepatnya tulisan-tulisan
yang sudah pernah ditulis pada masa rasul dikumpulkan, beberapa ada yang
disalin ke dalam lembaran-lembaran yang kemudian dibukukan. Kegiatan
membukukan dilakukan oleh tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.
Kegiatan untuk
membukukan ayat –ayat suci Al-Quran ini dilandasi karena adanya kekhawatiran
gugurnya sekian banyak orang-orang yang hafal Al-Quran pada masa itu, sehingga
mahakarya yang sempurna ini bisa saja tidak sampai ke tangan-tangan kita
sekarang ini. Al-quran sebagai mahakarya yang abadi akan senantiasa ditemui
sampai umat akhir zaman dengan adanya Al-Kitab. Dan ini menentukan
keberlangsungan hidup umat muslim di dunia.
Selain Al-Quran
sebagai kalam Allah yang tertulis, tradisi tulis menulis di dalam Islam juga
kita jumpai pada masa kejayaan Islam waktu itu, di mana banyak-karya-karya
monumental yang lahir dari para cendekiawan muslim yang mengkaji berbagai macam
disiplin ilmu. sebagai contoh Abu Sina lewat karyanya di bidang
kedokteran Al-Qanun Fi Ath-Thibbi, Al-Khawarizmi pencipta aljabar (ilmu
ukur/matematika), Ibnu Rusyd dengan filsafat yunaninya yang mampu memberikan
koreksi dan catatan kaki atas kekeliruan yang ada di dalam buku mereka berhasil
melahirkan Bidayah-Al-Mujtahid, sebuah rujukan perbandingan mazhab dalam ilmu
fiqih, Al-Haitsam penemu optik, Al-Idrisi , Al-Biruni, Ibnu Khaldun, dan
tokoh-tokoh islam lainnya.
Islam mengalami
kejayaannya ketika banyak sekali para tokoh-tokoh Islam menghasilkan sebuah
karyanya terutama tulisan. Tulisan menjadikan sesuatu tradisi yang vital untuk
mengabadian sebuah penemuan, ajaran, pengetahuan, atau ilmu yang mereka peroleh
dari kegiatan membaca (menelaah, mencoba, mengamati, merumuskan) suatu
peristiwa. Banyaknya para cendekiawan yang berilmu menentukan
kejayaan/peradaban suatu bangsa/umat.
Lewat sebuah tulisan pula, saya ingin mengumandangkan bahwa kita sebagai umat
manusia, khususnya umat Islam tradisi tulis-menulis ini hendaknya kita
lestarikan dan senantiasa berusaha untuk melanggengkannya. Mengingat banyak
sekali faedah yang kita dapatkan dan tentunya semakin mudahnya fasilitas yang
ada, sudah selayaknya tradisi ini berkembang, layaknya jamur.
Tidak kita pungkiri, melihat fenomena yang sedang terjadi, di mana semakin
menjamurnya warnet karena pengaruh era global di mana arus informasi begitu
derasnya, para pemuda sebagai generasi penerus bangsa semakin terbuai dan
terlena menikmati fasilitas yang ada untuk sesuatu yang kita kategorikan
sia-sia. Banyak pemuda, pelajar khususnya berhura-hura dengan facebook, twitter,
atau sejenisnya, chatting, download gambar-gambar vulgar, ringtone
dan sangat sedikit sekali yang membuka situs-situs jendela informasi, berita,
dan ilmu yang sebenarnya lebih bermanfaat untuk mereka. Pemikiran mereka
menjadi tumpul dan dangkal. Hal ini jelas akan mempengaruhi pola pikir dan
keberlangsungan suatu negara.
Dashyatnya kekuatan
sebuah tulisan yang saya utarakan di depan, setidaknya menyadarkan kita semua,
khususnya generasi penerus bangsa untk memanfaatkan waktu mudanya melakukan
hal-hal yang berguna, jauh dari kesia-siaan. Berlomba-lomba untuk selalu
mengabadikan segala peristiwa, informasi, ajaran, pengetahuan, ilmu ke dalam
bentuk tulisan untuk sekedar berbagi atau berdakwah, mengingat juga ketika kita
menulis kita akan memperoleh pemahaman yang lebih dan tiada ruginya kegiatan
tulis menulis dilakukan. Kegiatan ini diharapkan bisa menjadikan sebuah tradisi
yang bisa meningkatkan wawasan, pengetahuan , sikap, etika untuk lebih
membangun dan meningkatkan peradaban negara kita tercinta, khususnya untuk
mengembalikan kejayaan Islam, di mana banyak para tokoh, pelajar, pendidik,
cendekiawan berlomba-lomba menciptakan karya-karya yang handal dan monumental.
Mari kita hidupkan arwah tulis-menulis di bumi kita tercinta ini.
(Sepenggal Esai dalam Buku Menulis Tradisi Intelektual Muslim, Youth Publisher, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar